Friday 26 February 2016

Pengertian Model Pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP)



Salah satu alternatif model pembelajaran inovatif  adalah model pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP), nama model tersebut diambil dari penelitian yang dilakukan oleh Thomas L. Good dan Douglas A. Grows pada taahun 1979 dengan judul penelitian “The Missouri Mathematics Effectiveness Project: An experimental study in fourth-grade classrooms”.[1]
Mathematical thinking is like an attitude, as in it can be expressed as a state of “attempting to do” or “ working to do” something. It is not limited to result represented by action, as in “the ability to do” or “couldn’t do” something.
Menegaskan bahwa mathematical thinking seperti sebuah sikap, di dalamnya dapat dinyatakan sebagai keadaan “mencoba untuk melakukan” atau “ bekerja untuk melakukan” sesuatu. Hal itu tidak terbatas pada hasil yang diwakili oleh tindakan, seperti dalam “kemampuan untuk melakukannya” atau “bisa melakukan” atau “tidak bisa melakukan” sesuatu.[2]
Salah satu model yang secara empiris dikembangkan melalui penelitian adalah model pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP). Missouri  Mathematics  Project  (MMP)  merupakan  salah  satu model  yang  terstruktur  seperti  halnya  struktur  pengajaran  matematika.
Sebelum  membahas  mengenai  model  MMP  ada  baiknya  melihat dahulum   struktur   pengajaran   matematika   (SPM).   Struktur   pengajaran matematika  (SPM)  adalah  tahapan  kegiatan  dalam  proses  pembelajaran termasuk perincian waktunya. Komponen struktur pengajaran matematika (SPM) adalah sebagai berikut:
1. Pendahuluan: Apersepsi/ revisi dan motivasi.
2. Pengembangan: Pembelajaran konsep.
3. Penerapan: Pelatihan  penggunaan  konsep,  pengembangan  skiil  dan evaluasi.
4. Penutup : Penyusunan rangkuman, penugasan.
Sedangkan  model  Missouri  Mathematics  Project  (MMP)  dikemas dalam langkah-langkah sebagai berikut:
1.   Pendahuluan atau review
Guru dan peserta didik meninjau ulang apa yang telah tercakup pada   pelajaran   yang   lalu   (10   menit).   Yang   ditinjau   adalah:   PR, mencongak, atau membuat prakiraan.
2.   Pengembangan
Guru  menyajikan  ide  baru  dan  perluasan  konsep  terdahulu. Peserta  didik  diberi  tahu  tujuan  pelajaran  yang  memiliki  “antisipasi” tentang sasaran pelajaran. Penjelasan dan diskusi interaktif antara guru dan peserta didik harus disajikan termasuk demonstrasi kongkrit yang sifatnya piktorial atau simbolik. Guru merekomendasikan 50 % waktu pelajaran  untuk  pengembangan.  Pengembangan  akan  lebih  bijaksana bila dikombinasikan dengan kontrol latihan untuk menyakinkan bahwa peserta didik mengikuti penyajian materi baru itu.
3.   Kerja kooperatif (latihan terkontrol)
Peserta  didik  diminta  merespon  satu  rangkaian  soal  sambil guru mengamati kalau-kalau terjadi miskonsepsi. Pada latihan terkontrol ini respon setiap peserta didik sangat menguntungkan bagi guru  dan  peserta  didik.  Pengembangan  dan  latihan  terkontrol  dapat saling  mengisi  dengan  total  waktu  20  menit.  Guru  harus  memasukan rincian  khusus  tanggung  jawab  kelompok  dan  ganjaran  individual berdasarkan  pencapaian  materi  yang  telah  dipelajari.  Peserta  didik bekerja sendiri atau dalam kelompok belajar kooperatif.
4.   Seat work/ Kerja mandiri
Guru  memberikan  soal/  ide  dan  peserta  didik  bekerja  sendiri untuk latihan/ perluasan mempelajari konsep yang disajikan guru pada langkah 2 (pengembangan).
5.   Penugasan/ PR
Memberikan penugasan/ PR kepada peserta didik agar peserta didik   juga   belajar   di   rumah   sebagai   pendalaman   materi.   Waktu pemberian  PR  diakhir  proses  belajar  mengajar  dan  isi/  soal  dari  PR tersebut tentang materi pelajaran yang baru diajarkan.[3]
Model pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP) memiliki beberapa kelebihan, diantaranya:
1. Banyak  materi  yang  bisa  tersampaikan  kepada  peserta  didik  karena tidak terlalu banyak  memakan  waktu.  Artinya,  penggunaan  waktu dapat diatur relatif ketat.
2. Banyak   latihan   sehingga   peserta   didik   mudah   terampil   dengan beragam soal.
Disamping memiliki kelebihan, model pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP) juga memiliki kekurangan, diantaranya:
1. Kurang menempatkan peserta didik pada posisi yang aktif.
2. Mungkin peserta didik akan cepat bosan karena lebih banyak mendengar.



[1] Syamsul Aziz. Peningkatan Pemahaman Matematik Peserta Didik Melalui Penggunaan Model Pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP) (Penelitian di Kelas VIII SMP 12 Tasikmalaya Tahun Pelajaran 2012/2013). (Tasikmalaya, Jurnal Pendidikan Matematika, 2013), h. 4.
[2] Miftakhul, Jannah, dkk. Penerapan Model Pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP) Untuk Meningkatkan Pemahaman dan Sikap Positif Siswa Pada Materi Fungsi. Karanganyar: (Karanganyar: Jurnal Pendidikan Matematika Solusi. Vol. 01, No. 01. 2013), h. 62.
[3] Krismanto,  Beberapa  Teknik,  Model,  dan  Strategi  dalam  Pembelajaran  Matematika, http://p4tkmatematika.org/download/sma/strategi pembelajaran matematika.pdf, Didownload pada Hari Sabtu Tanggal 11 Agustus 2014.

pengertian keaktifan belajar



Keaktifan Belajar
Kegitan belajar diperlukan keterlibatan unsur fisik maupun mental, sebagai suatu wujud reaksi. Pikiran dan otot-ototnya harus dapat bekerja secara harmonis, sehingga subjek belajar itu bertindak atau melakukannya. Belajar harus aktif, tidak sekedar apa adanya, menyerah pada lingkungan, tetapi semua itu harus dipandang sebagai tantangan yang memerlukan reaksi. Jadi orang yang belajar itu harus aktif, bertindak dan melakukannya dengan segala panca indranya secara optimal. Belajar membutuhkan reakasi yang melibatkan ketangkasan mental, kewaspadaan, perhitungan, ketekunan dan kecermatan untuk menangkap fakta-fakta dan ide-ide sebagaimana disampaikan oleh pengajarnya. Jadi kecepatan jiwa seseorang dalam memberikan respon pada suatu pelajar merupakan faktor yang penting dalam belajar.[1]
Belajar merupakan proses aktif merangkai pengalaman menggunakan masalah-masalah nyata yang terdapat di lingkungannya untuk berlatih keterampilan-keterampilan yang spesifik. Dengan demikian belajar tidaklah bersifat pasif. Proses belajar harus berpusat pada siswa melalui berbagai aktivitas fisik (hands on ) dan aktivitas mental (minds on). Guna membenahi sistem pembelajaran yang lebih bermakna, maka kegiatan belajar itu sendiri harus dirancang sedemikian rupa, sehingga seluruh siswa menjadi aktif dalam belajarnya, yang dapat merangsang daya cipta, rasa maupun karsa. Cara belajar yang aktif diasumsikan menjadi pangkal kesuksesan belajar.[2] Bertolak dari asumsi tersebut, maka metode dan teknik belajar mengajar harus ditelaah kemampuannya untuk dapat mengaktifkan siswa sebagai subyek didik.
Berdasarkan hasil penelitian yang dikutip oleh Utomo dan Ruijter dijelaskan bahwa ”Belajar secara aktif dengan cara-cara yang bervariasi (berlainan) sambil memperhatikan strukturnya akan dimengerti lebih baik dan diingat lebih lama”. Penekanan dari pendapat tersebut adalah cara belajar dengan banyak variasi yang menjadikan siswa aktif dan senang belajar. Oleh karena itu, untuk dapat mengaktifkan siswa dalam kegiatan belajar tersebut, maka guru juga dituntut untuk aktif dalam mengajarnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Muhadjir bahwa : Wawasan dari cara belajar yang menjadikan siswa aktif merupakan proses belajar sepanjang hayat menekankan pengkonsepsian keseimbangan antara otoritas pendidik dengan kedaulatan subyek didik, dan keseimbangan antara aktivitas belajarnya siswa dengan mengajarnya guru”.[3]
Dalam proses pembelajaran di sekolah, untuk melibatkan siswa secara aktif dalam belajarnya, maka guru juga dituntut untuk aktif dalam mengajarnya, yakni suatu keseimbangan antara keaktifan belajarnya siswa dan keaktifan mengajarnya guru. Oleh karena itu, proses pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang integral antara siswa sebagai pelajar dan guru sebagai pengajar. Dalam kegiatan ini, terjadi interaksi antara guru dengan siswa dalam siatuasi pembelajaran, dimana proses belajar merupakan suatu aktivitas yang dijalankan oleh peserta didik, sedangkan proses mengajar ialah apa yang diusaha-kan oleh guru agar proses belajar mengajar dapat berlangsung. Dalam usahanya itu, guru harus merencanakan pembelajaran yang mantap, termasuk strategi pembelajarannya.
Keaktifan adalah pada saat guru mengajar ia harus mengusahakan agar murid-muridnya aktif, jasmani maupun rohani. Keaktifan jasmani maupun rohani meliputi :
a.       Keaktifan indera: Murid harus dirangsang agar dapat menggunakan alat inderanya sebaik mungkin.
b.      Keaktifan akal: Akal anak-anak aktif atau diaktifkan untuk memecahkan masalah.
c.       Kektifan ingatan: Pada waktu mengajar anak harus aktif menerima bahan pengajaran yang disampaikan oleh guru dan menyimpannya dalam otak.
d.      Keaktifan emosi: Anak hendaklah senantiasa mencintai pelajarannya.[4]
Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran dapat dirangsang dan mengembangkan bakat yang dimilikinya, siswa juga dapat berlatih untuk berfikir kritis dan serta dapat memecahkan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. Menurut Gagne dan Briggs faktor - faktor tersebut diantaranya :
1.      Memberikan dorongan atau menarik perhatian siswa, sehingga mereka dapat berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran.
2.      Menjelaskan tujuan intruksional (kemampuan dasar kepada siswa).
3.      Mengingatkan kompetensi belajar kepada siswa.
4.      Memberikan stimulus (masalah,topik dan konsep yang akan dipelajari).
5.      Memberi petunjuk kepada siswa cara mempelajarinya.
6.      Memunculkan aktivitas, partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran.
7.      Memberi umpan balik (feed back)
8.      Melakukan tagihan-tagihan kepada siswa berupa tes, sehingga kemampua siswa selalu terpantau dan terukur.
9.    Menyimpulkan setiap materiyang disampaikan di akhir pelajaran.[5]
Guru dalam proses pembelajaran haruslah mengikutsertakan para siswanya secara aktif. Jangan sampai proses pembelajaran justru didominasi oleh guru saja.
Siswa dikatakan aktif dalam pembelajaran bila terdapat cirri-ciri sebagai berikut:
1.      Siswa berbuat sesuatu untuk memahami materi pelajaran.
2.      Pengetahuan dipelajari, dialami, dan ditemukan oleh siswa.
3.      Mencoba sendiri konsep-konsep
4.      Siswa mengkomunikasikan hasil pikirannya.[6]
Keaktifan siswa dalam pembelajaran tergolong rendah jika : siswa tidak banyak bertanya, aktivitas siswa terbatas pada mendengarkan dan mencatat, siswa hadir di kelas dengan persiapan belajar yang tidak memadai, ribut jika diberi latihan, dan siswa hanya diam ketika ditanya sudah mengerti atau belum.
2. Hasil Belajar
a. Pengertian Belajar
Belajar  pada  hakikatnya  adalah  suatu  proses  yang  ditandai dengan adanya perubahan pada dari diri seseorang. Perubahan sebagai hasil  dari  proses  belajar  dapat  ditunjukkan  dalam  berbagai  bentuk seperti berubahnya pengetahuan, pemahaman, sikap, dan tingkah laku, keterampilan,  kecakapan  dan  kemampuannya  serta  perubahan  aspek- aspek lain yang ada pada individu yang belajar.[7]
Belajar adalah suatu proses atau usaha yang menimbulkan terjadinya perubahan (baik fisik maupun psikis, seperti: perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah, ketrampilan, kecakapan, kebiasaan atau pun sikap) yang dialami seseorang dalam hal kemampuan          untuk   bertingkah laku sebagai hasil latihan atau pengalaman, dimana perubahan tersebut relatif tetap.
Di  antara  ciri-ciri  perubahan  tingkah  laku  dalam  pengertian belajar adalah sebagai berikut:
1.  Perubahan terjadi secara sadar. Maksudnya seseorang yang belajar akan menyadari          terjadinya perubahan itu sekurangnya ia merasakan telah terjadi perubahan dalam dirinya.
2.  Perubahan  dalam  belajar  bersifat  kontinyu  dan  fungsional. Ini berarti bahwa perubahan          yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan  berguna  bagi  kehidupan  ataupun proses belajar berikutnya.
3.  Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif. Positif maksudnya dalam  perubahan belajar senantiasa bertambah dan tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Dan perubahan yang besifat aktif artinya   bahwa perubahan  itu  tidak  terjadi  dengan  sendirinya  melainkan  karena usaha individu sendiri.
4.  Perubahan  dalam  belajar  bukan  bersifat  sementara.  Ini  berarti bahwa   tingkah   laku   yang   terjadi   setelah   belajar   akan   besifat menetap.
5.  Perubahan   dalam   belajar   bertujuan   atau   terarah.   Maksudnya perubahan tingkah laku terjadi karena ada tujuan.
6.  Perubahan   mencakup   seluruh   aspek   tingkah   laku.   Maksudnya seseorang  akan  mengalami  perubahan  secara  menyeluruh  dalam sikap, ketrampilan, pengetahuan dan sebagainya.[8]
Menurut M. Dalyono, setiap orang hendaknya memperhatikan prinsip -prinsip dalam belajar, di antaranya adalah:
1.  Kematangan jasmani dan rohani
Kematangan jasmani yaitu telah sampai pada batas minimal umur  serta  kondisi  fisiknya  telah  cukup  kuat  untuk  melakukan kegiatan  belajar.  Dan  kematangan  rohani  yaitu  telah  memiliki kemampuan  secara  psikologis  untuk  melakukan  kegiatan  belajar, misalnya kemampuan berpikir, ingatan, fantasi, dan sebagainya.
2.  Memiliki kesiapan
Maksudnya   kesiapan   adalah   dengan   kemampuan   yang cukup  baik  fisik,  mental  maupun  perlengkapan  belajar.  Kesiapan mental berarti memiliki tenaga cukup dalam kesehatan yang baik, sementara  kesiapan  mental  berarti  memiliki  minat  dan  motivasi yang cukup untuk melakukan belajar.
3.  Memahami tujuan
Maksudnya setiap orang yang belajar harus memahami apa tujuannya  agar  tidak  menimbulkan  kebingungan.  Dan  prinsip  ini sangat  penting  dimiliki  oleh  orang  agar  proses  yang  dilakukan cepat selesai dan berhasil.

4.  Memiliki kesungguhan
Belajar tanpa  kesungguhan  akan  memperoleh  hasil  yang tidak  memuaskan  dan banyak membuang waktu serta tenaga. Sebaliknya, belajar dengan sunggah-sungguh serta tekun akan memperoleh hasil yang maksimal dan penggunaan  waktu  akan lebih efektif.
5.  Ulangan dan latihan
Maksudnya sesuatu yang dipelajari perlu diulang serta dibuat latihan agar   meresap dalam otak, sehingga dikuasai sepenuhnya dan sukar dilupakan.[9]
Menurut pengertian secara psikologi, belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.[10] Dengan demikian, lingkungan yang berbeda dari setiap individu akan mempengaruhi tingkah laku individu tersebut.
Menurut Skinner, belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar, maka responnya akan lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar maka responnya menurun, sedangakan menurut Gagne, belajar adalah kegiatan yang kompleks. [11] Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya respon yang dilakukan individu dalam melaksanakan pembelajaran akan mempengaruhi tindakan yang dilakukannya dengan jalan merespon balik apa yang diterimanya.
b. Pengertian Hasil Belajar
Menurut kamus umum bahasa indonesia kata hasil berarti (1) sesuatu yang diadakan oleh usaha; (2) pendapatan, perolehan, buah; (3) akibat kesudahan.[12] Sehingga  hasil  belajar  adalah  akibat  dari  proses perubahan tingkah laku atau interaksi seseorang dengan orang lain atau lingkungannya.
Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi atau tindak belajar dan tindak mengajar.[13] Atau hasil belajar adalah kemampuan- kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.[14] Hasil  belajar  dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubahnya pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, dan  kemampuannya  serta  perubahan  aspek lain yang ada pada individu belajar.
Hasil  belajar  merupakan  hasil  yang  dicapai  oleh  siswa  dalam menuntut  suatu  pelajaran  yang  menunjukkan  taraf  kemampuan  siswa dalam mengikuti program belajar dalam waktu tertentu. Hasil belajar dapat dicerminkan sebagai   nilai yang menentukan berhasil dan tidaknya siswa dalam proses pembelajaran, dan  ditunjukkan  dengan nilai atau angka yang diberikan oleh guru.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu:
1. Faktor internal
Faktor  internal  merupakan  faktor  yang  berasal  dari diri individu yang belajar, meliputi: aspek fisiologi   dan aspek psikologi. Aspek fisiologi individu yang belajar seperti kondisi umum jasmani yang dapat mempengaruhi semangat dan intensitas subyek belajar. Aspek  psikologis  yang  mempengaruhi  hasil  belajar  adalah kecerdasan, sikap, bakat, minat, dan motivasi.
2.  Faktor eksternal
Faktor  eksternal  merupakan  faktor  yang  berasal  dari  luar individu yang belajar, meliputi: aspek lingkungan sosial dan aspek lingkungan non sosial. Aspek  lingkungan  sosial  antara  lain:  lingkungan  belajar subyek belajar, seperti: guru, asisten, administrasi, teman sekelas, keluarga subyek belajar, tetangga dan masyarakat. Aspek lingkungan non sosial antara lain: sarana dan prasarana belajar, kurikulum, administrasi, keadaan cuaca,  dan waktu belajar yang digunakan oleh subyek belajar.
3. Faktor pendekatan belajar
Pendekatan belajar dapat dipahami sebagai segala cara atau strategi yang digunakan subyek belajar dalam menunjang efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran materi tertentu.[15]
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar di atas maka dapat disimpulkan bahwa tidak hanya faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi hasil belajar melainkan faktor pendekatan belajar juga sangat mempengaruhi hasil belajar peserta didik termasuk model pembelajaran apa yang dilakukan oleh peserta didik tersebut.


[1] A.  Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta : PT Raja. Grafindo Persada, 2001). h. 31
[2] Noeng Muhadjir. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2003). h. 137.
[3]  Noeng Muhadjir. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. h. 137.
[4] Sriyono. Teknik Belajar Mengajar dalam CBSA. (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2009). h. 75.
[5] Yamin, Martinis. Kiat Membelajarkan Siswa. (Jakarta. Gaung Persada Press dan Center for Learning Innovation (CLI), 2007). h. 84.
[6] Suryosubroto. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. (Jakarta: Rineka Cipta, 2002). h. 71.
[7] Anisatul Mufarokah, Strategi Belajar  Mengajar, (Yogyakarta: Teras, 2009). Cet. 1, h. 13.
[8] Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. (Cet. V, Jakarta: Rineka  Cipta, 2010), h. 3-4.
[9] M. Dalyono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 51-54.
[10] Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, (Cet. V, Jakarta: Rineka  Cipta, 2010),  h. 2.
[11] Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 9-10.
[12] Kamus On - Line, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kbbi.web.com, di akses pada tanggal 3 Agustus 2014, Sungguminasa, pukul 16.35 WITA.
[13] Dimyati  dan  Mudjiono,  Belajar  dan  Pembelajaran,  (Jakarta:  Rineka Cipta,  2006), h. 3.
[14] Nana   Sudjana,   Penilaian   Hasil   Proses   Belajar   Mengajar,   (Cet. XIII,  Bandung:   Remaja Rosdakarya, 2009), h. 23.
[15] Muhibbin   Syah,   Psikologi   Pendidikan   dengan   Pendekatan   Baru,   (Cet. XV, Bandung: Rosdakarya, 2010), h. 132-139.