BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pandangan hidup dan sistem pemikiran bangsa
Indonesia tidak sama dengan pandangan hidup dan sistem pemikiran bangsa di
Negara lainnya. Seperti bangsa-bangsa di negara-negara Barat, di mana pandangan
hidup dan sistem pemikirannya bersumber pada pemikiran filsafat Yunani,
walaupun pemikiran filsafat Yunani ini telah dapat dibuktikan dengan
keberhasilannya membangun peradaban manusia, tetapi pada akhirnya akan
mengalami kepincangan hidup.
Kepincangan tersebut dapat kita lihat bahwa
manusia produk dari pemikiran Yunani hanya melahirkan manusia-manusia yang
individualitas, yang di dalam dirinya terdapat sifat saling curiga, dan saling
bermusuhan. Juga, dari pandangan bahwa di dalam pribadinya terdapat hal-hal
yang selalu dipertentangkan dengan rasio (akal).
Mengapa demikian? Karena dari sifat
individualitas dan materialistis yang akarnya dari pemikiran Yunani tidak
terdapat warna yang transcendental atau yang immanent, tetapi pemikiran Yunani
hanya diwarnai oleh warna mitologi dan rasio.
Dengan demikian, pandangan hidup atau
pemikiran yang diperuntukkan membangun peradaban manusia, akan melahirka
manusia-manusia yang egoistis, yaitu manusia yang mementingkan dirinya sendiri
dan menganggap orang lain sebagai objek kepentingan dirinya sendiri.
Demikian juga halnya dengan pandangan hidup
yang mengacu pada materialism, di mana di dalamnya mengandung bibit
keserakahan, kemurkaan, dan menganggap orang lain sebagai objek keuntungan
material, yang pada akhirnya akan melahirkan manusia-manusia yang tidak
bermoral atau jauh dari nilai-nilai moral.
Jadi, sesuatu pandangan hidup atau pemikiran
(paham kehidupan) yang berasaskan individualisme akan melahirkan
manusia-manusia yang berpola “dangkal” dalam
lingkup pergaulan sosial. Sementara itu, pandangan hidup yang berasaskan
materialisme akan melahirkan manusia-manusia yang berpola pada penyimpangan
nilai-nilai moral dalam lingkup sosial.
1
2
B. Rumusan
masalah
1. Apa
pengertian filsafat Indonesia?
2. Apa
materi filsafat (pandangan hidup) Indonesia?
3. Bagaimana
bentuk filsafat Indonesia?
4. Bagaimana
pancasila dapat menjadi falsafah?
C. Tujuan
dan Manfaat
1. Tujuan
dari pembuatan makalah ini adalah agar dapat menambah wawasan para mahasiswa
dan dapat menjadi pengetahuan baru mengenai filsafat Indonesia.
2. Manfaat
dari makalah ini adalah selain menambah pengetahuan, makalah ini juga dapat
menjadi referensi tambahan bagi mahasiswa mengenai filsafat Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Hakikat
Filsafat Indonesia
Filsafat
Indonesia adalah suatu pemikiran filsafat yang diperuntukkan kepada bangsa
Indonesia sebagai landasan hidup bangsa Indonesia. Setiap manusia tentu
menginginkan agar hidupnya dalam keadaan baik, sejahtera dan bahagia. Banyak
orang yang tidak mengetahui bahwa untuk mencapai tujuan diperlukan suatu sistem
pemikiran yang sesuai dengan hakikat manusia dan hakikat kehidupannya.[1]
Manusia akan kehilangan sebagian
kehidupannya, apabila hidupnya tidak atau tanpa suatu sistem pemikiran yang
digunakan dalam tujuan kehidupan, sehingga hidupnya akan mengalami kepincangan,
pada giliran selanjutnya akan mengalami kekecewaan hidup.
Untuk itu, perlu sekali adanya suatu sistem
pandangan hidup yang di dalamnya terdapat keselarasan atau keharmonisan antara
hakikat pribadi manusia Indonesia dengan hal-hal yang dibutuhkan untuk mencapai
kesejahteraan, kebahagiaan dan ketenteraman.
Maksud hakikat pribadi dalam kedudukannya
sebagai manusia Indonesia adalah sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan
makhluk Tuhan. Untuk mencapai kesejahteraan, kebahagiaan, dan ketenteraman
seseorang harus mengupayakan dengan tiga cara keselarasan atau keharmonisan,
yaitu:
a. Selaras
atau harmonis dengan dirinya sendiri.
b. Selaras
atau harmonis dengan pergaulan sesama manusia, dan lingkungan kehidupannya.
c. Selaras
atau harmonis dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ketiga keselarasan atau keharmonisan
tersebut, sebagai harmoni yang mutlak adanya, di mana di dalamnya tidak
terdapat lagi pertentangan satu sama lainnya (harmoni sempurna).[2]
4
Dengan demikian, sistem
pemikiran seperti di atas diharapkan akan membawa pada suatu bentuk manusia
Indonesia yang diwarnai dan sekaligus mengarah “pergaulan hidup” (bukannya
“perjuangan hidup”). Sistem pemikiran tersebut juga diharapkan dapat dijadikan
sebagai motor penggerak setiap tindakan dan perbuatan manusia Indonesia.[3]
Suatu pemikiran filsafat yang implementasinya
sebagai suatu pandangan hidup bagi setiap orang Indonesia mempunyai peranan
yang penting, yaitu apabila seseorang tidak mempunyai pandangan hidup, niscaya
hidupnya tidak terarah.
Bagi bangsa dan rakyat Indonesia tidaklah
demikian, karena manusia-manusia Indonesia mempunyai kedudukan sebagai makhluk
Tuhan. Karena hidup ini tidak diperuntukkan di dunia saja, akan tetapi juga
untuk akhirat (kehidupan setelah kehidupan dunia. Dimensi keakhiratan inilah
yang mengharuskan manusia Indonesia untuk mendasarkan pada suatu sistem pandangan
hidup yang selaras atau harmoni, tidak bertentangan dan sejalan dengan hakikat
manusia sebagai makhluk Tuhan.[4]
Jadi, pandangan hidup model Indonesia
mempunyai dimensi yang berakar: keselarasan atau keharmonisan dengan hakikat
kedudukan kodrat manusia, yang implementasinya berupa asas kekeluargaan dan
asas kehidupan yang diridhai Tuhan.
2. Materi
Filsafat (Pandangan Hidup) Indonesia
Suatu
pandangan hidup yang sesuai dengan manusia Indonesia adalah suatu pandangan
hidup yang berasal dari akar hikmat yang terkandung dalam khasanah budaya
Indonesia, yang dapat dijumpai dalam berbagai adat istiadat, peribahasa,
pepatah yang kesemuanya itu merupakan ungkapan-ungkapan perilaku kehidupan
manusia Indonesia.
5
Melihat uraian di atas, bahwa budaya yang terungkap
tersebut merupakan esensi filsafat Indonesia. Karena budaya tersebut sebagai
hasil perkembangan rohaniah dan intelektual bangsa. Setelah rakyat Indonesia
terbebas dari penjajahan tahun 1945, rakyat Indonesia mulai timbul
kesadarannya, bahwa suatu negara apabila tidak mempunyai kebudayaan dikatakan
sebagai bangsa yang miskin. Pengertian budaya di sini dalam artian yang luas,
yaitu budaya yang memperlihatkan kepribadian bangsa Indonesia.[5]
Negara Republik Indonesia yang terdiri dari
17 ribu pulau lebih, beragam adat istiadat, dan beratus suku dan bahasa. Dari
sekian banyak suku yang tersebar yang paling besar adalah suku Jawa, sedangkan
suku kedua adalah suku minangkabau. Dari keragaman tersebut, sehingga pandangan
hidupnya juga beragam. Keragaman tersebut menunjukkan adanya kekayaan budaya
yang kesemuanya itu lebih ditentukan oleh aspek-aspek geografis, lingkungan dan
lain-lain.
Maka dengan keragaman suku, adat istiadat,
bahasa, kepercayaan, dan budaya yang kesemuanya mempunyai suatu kesamaan hakikat.
Dari kesamaan hakikat inilah nantinya akan muncul suatu rumusan pandangan hidup
bangsa Indonesia yaitu Filsafat Pancasila.
Untuk membentuk kesatuan budaya yang meliputi
seluruh wilayah kesatuan Indonesia membutuhkan waktu yang lama, penuh tantangan
dan berliku-liku. Menurut sejarahnya, 2000 tahun yang lalu telah ada sekelompok
orang yang kelak akan melahirkan bangsa Indonesia. Adanya baru terwujud sebagai
embrio, kemudian dengan tercetusnya Sumpah Pemuda tahun 1928 dan Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 merupakan wujud embrio kesatuan bangsa
Indonesia, di mana pada saat itu belum mencapai pada taraf yang memuaskan.[6]
6
Pada tahun 1945, lahirnya negara kesatuan Republik
Indonesia, diikuti “kepribadian bangsa Indonesia”. Bangsa Indonesia yang saat
itu jumlahnya baru puluhan juta telah mempunyai kedudukan sebagai negara
kesatuan seperti negara kesatuan lainnya. Di mata negara lain, bangsa dan
negara Indonesia dengan segala corak kebangsaanya sudah terlihat, tetapi
apabila dilihat dari dalam masih banyak kekurangannya.[7]
Setelah terbebas dari penjajahan, setapak
demi setapak bangsa Indonesia mengupayakan untuk mengembangkan kepribadian,
yaitu dengan jalan dirintis oleh beberapa tokoh: Moh. Yamin, Ir. Soekarno, dan
lain-lain. Upaya tersebut didasarkan pada, “semakin tinggi tingkat kepribadian
suatu bangsa, semakin tinggi bangsanya”, karena pandangan hidup bangsalah yang
menentukan corak kepribadiannya, sekaligus menentukan corak moralnya.
Upaya yang lainnya adalah memantapkan
kebudayaan nasional yang terbentuk dari kebudayaan-kebudayaan daerah atau
lokal, sehingga kepribadian dan kebudayaan nasional terbentuk lewat kepribadian
atau kebudayaan daerah atau lokal. Maka kepribadian dan kebudayaan secara
bersama-sama membentuk suatu titik kulminasi yaitu terbentuknya pandangan hidup
dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia.[8]
Bersyukurlah bahwa para pemimpin bangsa
Indonesia dengan segala kemampuan dan kebijaksanaannya telah berbuat untuk
menggali khasanah kepribadian dan kebudayaan untuk mencari titik kulminasi.
Maka lahirlah Pancasila yang di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur yang
mencerminkan kepribadian dan kebudayaan bangsa Indonesia. Hanya Pancasilalah
yang pantas dijadikan pandangan hidup sekaligus landasan pemikiran bangsa dan
negara Indonesia.
7
3. Bentuk
Filsafat Indonesia
Bentuk filsafat Indonesia adalah terdiri dari
lima sila, yaitu:
Sila I : Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila II : Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sila III : Persatuan Indonesia.
Sila IV : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Sila V : keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Lima sila di atas juga disebut lima dasar
sebagai suatu totalitas, merupakan suatu kebulatan tunggal, yang setiap
sila-silanya selalu harus mengandung keempat sila yang lainnya. Setiap sila
tidak boleh bertentangan dengan sila yang lain, karena di antara sila-sila itu
memang tidak terdapat hal-hal yang bertentangan.[9]
Dengan demikian, Pancasila mempunyai sifat
yang abstrak, umum, universal, tetap tidak berubah, menyatu dalam suatu inti
hakikat mutlak: Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil, yang kedudukannya
sebagai inti pedoman dasar yang tetap. Kejadian tersebut, melalui suatu proses
yang panjang, dimatangkan oleh sejarah perjuangan bangsa, akan tetapi tetap
berakar pada kepribadian kita (bangsa Indonesia), berarti pancasila merupakan
pandangan hidup seluruh bangsa Indonesia, yang telah disetujui oleh para wakil
rakyat menjelang dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia.
Jadi, Pancasila adalah satu-satunya pandangan hidup (filsafat) yang dapat
mempersatukan rakyat dan bangsa Indonesia.
4. Pancasila
sebagai Falsafah
Dalam konteks keindonesiaan, Pancasila yang
menjadi falsafah dan ideologi bangsa dan masyarakat Indonesia memiliki
nilai-nilai moral, etika, buadaya yang sangat mulia dimana dalam setiap silanya
menjalin keterkaitan makna yang tidak bisa dilepaskan demi memberikan
penafsiran semau gue. Adapun makna/hakekat yang dikandung sila-sila dalam
pancasila dapat kita lihat dalam uraian Sunoto (1989: 20-23) sebagai berikut:
8
a. Hakikat
sila pertama adalah Tuhan. Jika menggunakan sila pertama untuk mendekati
manusia Indonesia yang utuh, berarti bahwa manusia tersebut harus mempunyai
sifat-sifat dimiliki oleh Tuhan, dalam arti bahwa manusia pada hakekatnya tidak
boleh mempunyai sifat yang bertentangan dengan sifat Tuhan. Ini harus menjadi
ciri khusus masyarakat Indonesia seutuhnya, sebagai masyarakat yang mengakui
adanya Tuhan Yang Maha Esa.
b. Hakikat
sila kedua adalah manusia. Manusia utuh dilihat dari sila kedua adalah yang
sadar akan dirinya sebagai manusia, yaitu yang berkepribadian luhur. Berbeda
dengan binatang dan tumbuhan-tumbuhan, manusia mempunyai kelebihannya yaitu
jiwa. Oleh karena itu manusia utuh adalah yang berbuat sesuai dengan
nilai-nilai kejiwaannya. Ia wajib berbuat sesuai dengan nilai-nilai tersebut
agar dapat mencapai apa yang disebut manusia yang berperikemanusiaan.
c. Hakikat
sila ketiga adalah satu. Manusia utuh saharusnya adalah satu, baik dalam
dirinya maupun hubungannya dengan orang lain. Satu dengan yang lain mengandung
makna bahwa manusia tidak dapat lepas dari adanya manusia lain, alam sekitarnya
dan juga dengan Tuhan. oleh karena itu manusia utuh sesuai dengan makna sila ketiga
adalah manusia yang sadar bahwa dirinya merupakan satu kesatuan dengan seluruh
isi alam dan penciptanya.
d. Hakikat
sila keempat adalah rakyat, dalam artian bahwa manusia utuh adalah manusia yang
mampu menjadikan dirinya sungguh-sungguh sebagai bagian dari rakyat. Manusia
yang utuh harus mampu berbuat dari, oleh dan untuk kepentingan bersama, yang
pada hakekatnya manusia berbuat untuk dirinya sendiri. Manusia adalah bagian
dari rakyat, karena itu tidak mungkin berbuat sesuatu lepas dari kesatuan
mereka. Manusia utuh adalah yang mampu bergaul erat dengan rakyat dan mampu
memberikan problem solving secara bersama-sama dalam bermasyarakat untuk
mufakat. Manusia utuh adalah yang mampu bertenggang rasa, bersedia memberi dan
mau menerima pendapat orang lain. Manusia utuh harus mencari titik temu dan
tidak mencari-cari perbedaan sikap dan perbuaran serta pendapat. Ia sadar bahwa
ia hidup dalam keragaman sifat, karakter dan budaya serta adat istiadat.
9
Dalam kondisi seperti
ini, ia tidak mungkin mencari keuntungan sendiri dengan menganggap dirinya
yangpaling baik dan paling benar. Manusia utuh mampu mampu mandiri dan berdaulat
melaksnakan kedaulatannya dengan penuh tanggung jawab, mampu menyuarakan
isi hatinya demi kepentingan bersama. Jelasnya manusia utuh dalam makna sila
keempat ini adalah manusia yang menghormati hak-hak dan kewajiban dirinya
sendiri serta menghormati hak-hak orang lain. Ciri yang paling umum dan menjadi
budaya dikalangan masyarakat Indonesia adalah kebersamaan, kegotong royongan.
Budaya ini masih kita temukan mengakar dengan kuat terutama pada masyarakat
pedesaan. Meskipun solidaritas seperti ini dalam sorotan Soedjito disebut
solidaritas “sapu lidi” atau solidaritas ketergantungan terhadap pemimpin.
e. Hakikat
sila kelima adalah keadilan. Adil berarti memberikan kepada orang lain apa yang
menjadi haknya, dan bemakna pula memberikan kepada diri sendiri apa yang
menjadi hak diri. Karena sisi hak adalah wajib, maka adil berarti berlaku
serasi dalam hubungan antara hak dan wajib. Oleh sebab itu, manusia utuh
seharusnya dapat berlaku adil artinya dapat melaksanakan hak dan wajib terhadap
dirinya sendiri, terhadap orang lain, terhadap lingkungan hidup dan terhadap
Tuhan. kesemuanya ini harus bejalan seimbang.[10]
Manusia utuh
secara keseluruhan dalam pandangan pancasila wajib berbuat demi kesatuan sistem
yang ada dalam negara Indonesia. Ia sadar bahwa ia adalah bagian bangsa
Indonesia, begitu pula sadar bila ia dari alam semesta. Ia merupakan makhluk
Tuhan yang tidak dapat dipisahkan dengan-Nya. Manusia utuh adalah manusia yang
berbuat demi kesejahteraan dan ketentraman serta demi kesatuan manusia, alam
dan Tuhan.
Filsafat Bhineka Tunggal Ika mengandung pengakuan
akan eksistensi setiap lingkungan budaya nusantara yang majemuk adanya. Warisan
berbagai sistem-sistem budaya nusantara yang ada dewasa ini menunjukkan
survivabilitasnya yang membuktikan adanya nilai-nilai yang hidup dan hadir
melalui budaya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Filsafat
Indonesia adalah suatu pemikiran yang diperuntukkan kepada bangsa Indonesia
sebagai landasan atau pandangan hidup bangsa Indonesia.
Hakikat pribadi dalam
kedudukannya sebagai manusia Indonesia adalah sebagai makhluk individu, makhluk
sosial, dan makhluk Tuhan.
2. Pandangan
hidup yang sesuai dengan bangsa Indonesia adalah suatu pandangan hidup yang
berasal dari akar hikmat yang terkandung dalam khasanah budaya Indonesia, yang
dapat dijumpai dalam berbagai adat istiadat, peribahasa, pepatah yang
kesemuanya itu merupakan ungkapan-ungkapan perilaku kehidupan manusia
Indonesia.
3. Bentuk
filsafat Indonesia yang terdiri dari lima sila disebut lima dasar sebagai suatu
totalitas, merupakan suatu kebulatan tunggal yang setiap sila-silanya harus
mengandung keempat sila yang lainnya.
4. Pancasila
sebagai filsafat memiliki nilai-nilai moral, etika, budaya yang sangat mulia
dimana setiap silanya menjalin keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan.
B. Saran
Saran yang dapat kami
berikan adalah agar mahasiswa dalam pelaksanaan diskusi lebih tenang dan lebih
memperhatikan pemateri agar memahami dengan baik materri yang dibawakan oleh
kelompok lain.
10
DAFTAR
PUSTAKA
Achmadi, Asmoro. 2003. Filsafat
Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Achmadi, Asmoro. 2008. Filsafat
Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Mustafa, Mustari. 2011. Konstruksi
Filsafat Nilai Antara Normatifitas dan Realitas. Makassar:
Alauddin Press.
11
MATA KULIAH : FILSAFAT PENDIDIKAN
DOSEN :
Drs. HASANUDDIN, M. Pd. I
FILSAFAT
PENDIDIKAN PANCASILA
OLEH:
KELOMPOK 8
ISTIQFAR 20700111045
MUH. AFIF WARDIMAN 20700111058
MUH. ISHAK ANTON 20700111061
PENDIDIKAN
MATEMATIKA
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2012
KATA
PENGANTAR
Assalamu alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah, alhamdulillahirabbil alaamin,
segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Karena atas berkat, rahmat dan
hidayahnyalah yang telah dilimpahkan kepada kami, sehingga kami dapat
menyelasikan dan menyusun makalah ini
dengan baik dan tepat pada waktu.
Makalah yang kami buat ini, membahas tentang
“FILSAFAT PENDIDIKAN PANCASILA”, makalah ini kami buat sebagai salah satu tugas
dari mata kuliah Filsafat Pendidikan.
Kami juga mengucapkan banyak terima kasih
kepada dosen pembimbing, yang telah banyak memberikan kami petunjuk atau arahan
dalam membuat makalah ini, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan
baik.
Samata-Gowa
Penulis
ii
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL..............................................................................................
i
KATA
PENGANTAR............................................................................................
ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar
Belakang.......................................................................................
1
b. Rumusan
Masalah...................................................................................
2
c. Tujuan
dan
manfaat.................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian
Filasafat Indonesia.................................................................
3
2. Materi
Filsafat (Pandangan Hidup) Indonesia......................................... 4
3. Bentuk
Filsafat
Indonesia........................................................................
7
4.
Pancasila
sebagai Falsafah.......................................................................
7
BAB
III PENUTUP
a.
Kesimpulan........................................................................................10
b.
Saran..................................................................................................10
DAFTAR
PUSTAKA...............................................................................................
11
iii
No comments:
Post a Comment