Monday 25 January 2016

makalah filsafat pendidikan



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar belakang
Pandangan hidup dan sistem pemikiran bangsa Indonesia tidak sama dengan pandangan hidup dan sistem pemikiran bangsa di Negara lainnya. Seperti bangsa-bangsa di negara-negara Barat, di mana pandangan hidup dan sistem pemikirannya bersumber pada pemikiran filsafat Yunani, walaupun pemikiran filsafat Yunani ini telah dapat dibuktikan dengan keberhasilannya membangun peradaban manusia, tetapi pada akhirnya akan mengalami kepincangan hidup.
                        Kepincangan tersebut dapat kita lihat bahwa manusia produk dari pemikiran Yunani hanya melahirkan manusia-manusia yang individualitas, yang di dalam dirinya terdapat sifat saling curiga, dan saling bermusuhan. Juga, dari pandangan bahwa di dalam pribadinya terdapat hal-hal yang selalu dipertentangkan dengan rasio (akal).
                        Mengapa demikian? Karena dari sifat individualitas dan materialistis yang akarnya dari pemikiran Yunani tidak terdapat warna yang transcendental atau yang immanent, tetapi pemikiran Yunani hanya diwarnai oleh warna mitologi dan rasio.
                        Dengan demikian, pandangan hidup atau pemikiran yang diperuntukkan membangun peradaban manusia, akan melahirka manusia-manusia yang egoistis, yaitu manusia yang mementingkan dirinya sendiri dan menganggap orang lain sebagai objek kepentingan dirinya sendiri.
                        Demikian juga halnya dengan pandangan hidup yang mengacu pada materialism, di mana di dalamnya mengandung bibit keserakahan, kemurkaan, dan menganggap orang lain sebagai objek keuntungan material, yang pada akhirnya akan melahirkan manusia-manusia yang tidak bermoral atau jauh dari nilai-nilai moral.
                        Jadi, sesuatu pandangan hidup atau pemikiran (paham kehidupan) yang berasaskan individualisme akan melahirkan manusia-manusia yang berpola “dangkal” dalam  lingkup pergaulan sosial. Sementara itu, pandangan hidup yang berasaskan materialisme akan melahirkan manusia-manusia yang berpola pada penyimpangan nilai-nilai moral dalam lingkup sosial.

1
2
B.     Rumusan masalah
1.      Apa pengertian filsafat Indonesia?
2.      Apa materi filsafat (pandangan hidup) Indonesia?
3.      Bagaimana bentuk filsafat Indonesia?
4.      Bagaimana pancasila dapat menjadi falsafah?
C.     Tujuan dan Manfaat
1.      Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar dapat menambah wawasan para mahasiswa dan dapat menjadi pengetahuan baru mengenai filsafat Indonesia.
2.      Manfaat dari makalah ini adalah selain menambah pengetahuan, makalah ini juga dapat menjadi referensi tambahan bagi mahasiswa mengenai filsafat Indonesia.













BAB II
PEMBAHASAN
1.      Hakikat  Filsafat Indonesia
                        Filsafat Indonesia adalah suatu pemikiran filsafat yang diperuntukkan kepada bangsa Indonesia sebagai landasan hidup bangsa Indonesia. Setiap manusia tentu menginginkan agar hidupnya dalam keadaan baik, sejahtera dan bahagia. Banyak orang yang tidak mengetahui bahwa untuk mencapai tujuan diperlukan suatu sistem pemikiran yang sesuai dengan hakikat manusia dan hakikat kehidupannya.[1]
                        Manusia akan kehilangan sebagian kehidupannya, apabila hidupnya tidak atau tanpa suatu sistem pemikiran yang digunakan dalam tujuan kehidupan, sehingga hidupnya akan mengalami kepincangan, pada giliran selanjutnya akan mengalami kekecewaan hidup.
                        Untuk itu, perlu sekali adanya suatu sistem pandangan hidup yang di dalamnya terdapat keselarasan atau keharmonisan antara hakikat pribadi manusia Indonesia dengan hal-hal yang dibutuhkan untuk mencapai kesejahteraan, kebahagiaan dan ketenteraman.
                        Maksud hakikat pribadi dalam kedudukannya sebagai manusia Indonesia adalah sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Untuk mencapai kesejahteraan, kebahagiaan, dan ketenteraman seseorang harus mengupayakan dengan tiga cara keselarasan atau keharmonisan, yaitu:
a.       Selaras atau harmonis dengan dirinya sendiri.
b.      Selaras atau harmonis dengan pergaulan sesama manusia, dan lingkungan kehidupannya.
c.       Selaras atau harmonis dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
                        Ketiga keselarasan atau keharmonisan tersebut, sebagai harmoni yang mutlak adanya, di mana di dalamnya tidak terdapat lagi pertentangan satu sama lainnya (harmoni sempurna).[2]

4
Dengan demikian, sistem pemikiran seperti di atas diharapkan akan membawa pada suatu bentuk manusia Indonesia yang diwarnai dan sekaligus mengarah “pergaulan hidup” (bukannya “perjuangan hidup”). Sistem pemikiran tersebut juga diharapkan dapat dijadikan sebagai motor penggerak setiap tindakan dan perbuatan manusia Indonesia.[3]
                        Suatu pemikiran filsafat yang implementasinya sebagai suatu pandangan hidup bagi setiap orang Indonesia mempunyai peranan yang penting, yaitu apabila seseorang tidak mempunyai pandangan hidup, niscaya hidupnya tidak terarah.
                        Bagi bangsa dan rakyat Indonesia tidaklah demikian, karena manusia-manusia Indonesia mempunyai kedudukan sebagai makhluk Tuhan. Karena hidup ini tidak diperuntukkan di dunia saja, akan tetapi juga untuk akhirat (kehidupan setelah kehidupan dunia. Dimensi keakhiratan inilah yang mengharuskan manusia Indonesia untuk mendasarkan pada suatu sistem pandangan hidup yang selaras atau harmoni, tidak bertentangan dan sejalan dengan hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan.[4]
                        Jadi, pandangan hidup model Indonesia mempunyai dimensi yang berakar: keselarasan atau keharmonisan dengan hakikat kedudukan kodrat manusia, yang implementasinya berupa asas kekeluargaan dan asas kehidupan yang diridhai Tuhan.
2.      Materi Filsafat (Pandangan Hidup) Indonesia
            Suatu pandangan hidup yang sesuai dengan manusia Indonesia adalah suatu pandangan hidup yang berasal dari akar hikmat yang terkandung dalam khasanah budaya Indonesia, yang dapat dijumpai dalam berbagai adat istiadat, peribahasa, pepatah yang kesemuanya itu merupakan ungkapan-ungkapan perilaku kehidupan manusia Indonesia.






5
Melihat uraian di atas, bahwa budaya yang terungkap tersebut merupakan esensi filsafat Indonesia. Karena budaya tersebut sebagai hasil perkembangan rohaniah dan intelektual bangsa. Setelah rakyat Indonesia terbebas dari penjajahan tahun 1945, rakyat Indonesia mulai timbul kesadarannya, bahwa suatu negara apabila tidak mempunyai kebudayaan dikatakan sebagai bangsa yang miskin. Pengertian budaya di sini dalam artian yang luas, yaitu budaya yang memperlihatkan kepribadian bangsa Indonesia.[5]
                        Negara Republik Indonesia yang terdiri dari 17 ribu pulau lebih, beragam adat istiadat, dan beratus suku dan bahasa. Dari sekian banyak suku yang tersebar yang paling besar adalah suku Jawa, sedangkan suku kedua adalah suku minangkabau. Dari keragaman tersebut, sehingga pandangan hidupnya juga beragam. Keragaman tersebut menunjukkan adanya kekayaan budaya yang kesemuanya itu lebih ditentukan oleh aspek-aspek geografis, lingkungan dan lain-lain.
                        Maka dengan keragaman suku, adat istiadat, bahasa, kepercayaan, dan budaya yang kesemuanya mempunyai suatu kesamaan hakikat. Dari kesamaan hakikat inilah nantinya akan muncul suatu rumusan pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu Filsafat Pancasila.
                        Untuk membentuk kesatuan budaya yang meliputi seluruh wilayah kesatuan Indonesia membutuhkan waktu yang lama, penuh tantangan dan berliku-liku. Menurut sejarahnya, 2000 tahun yang lalu telah ada sekelompok orang yang kelak akan melahirkan bangsa Indonesia. Adanya baru terwujud sebagai embrio, kemudian dengan tercetusnya Sumpah Pemuda tahun 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 merupakan wujud embrio kesatuan bangsa Indonesia, di mana pada saat itu belum mencapai pada taraf yang memuaskan.[6]




6
Pada tahun 1945, lahirnya negara kesatuan Republik Indonesia, diikuti “kepribadian bangsa Indonesia”. Bangsa Indonesia yang saat itu jumlahnya baru puluhan juta telah mempunyai kedudukan sebagai negara kesatuan seperti negara kesatuan lainnya. Di mata negara lain, bangsa dan negara Indonesia dengan segala corak kebangsaanya sudah terlihat, tetapi apabila dilihat dari dalam masih banyak kekurangannya.[7]
                        Setelah terbebas dari penjajahan, setapak demi setapak bangsa Indonesia mengupayakan untuk mengembangkan kepribadian, yaitu dengan jalan dirintis oleh beberapa tokoh: Moh. Yamin, Ir. Soekarno, dan lain-lain. Upaya tersebut didasarkan pada, “semakin tinggi tingkat kepribadian suatu bangsa, semakin tinggi bangsanya”, karena pandangan hidup bangsalah yang menentukan corak kepribadiannya, sekaligus menentukan corak moralnya.
                        Upaya yang lainnya adalah memantapkan kebudayaan nasional yang terbentuk dari kebudayaan-kebudayaan daerah atau lokal, sehingga kepribadian dan kebudayaan nasional terbentuk lewat kepribadian atau kebudayaan daerah atau lokal. Maka kepribadian dan kebudayaan secara bersama-sama membentuk suatu titik kulminasi yaitu terbentuknya pandangan hidup dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia.[8]
                        Bersyukurlah bahwa para pemimpin bangsa Indonesia dengan segala kemampuan dan kebijaksanaannya telah berbuat untuk menggali khasanah kepribadian dan kebudayaan untuk mencari titik kulminasi. Maka lahirlah Pancasila yang di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur yang mencerminkan kepribadian dan kebudayaan bangsa Indonesia. Hanya Pancasilalah yang pantas dijadikan pandangan hidup sekaligus landasan pemikiran bangsa dan negara Indonesia.




7
3.      Bentuk Filsafat Indonesia
                        Bentuk filsafat Indonesia adalah terdiri dari lima sila, yaitu:
Sila I    : Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila II  : Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sila III : Persatuan Indonesia.
Sila IV : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam                                                permusyawaratan/perwakilan.
Sila V  : keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
                        Lima sila di atas juga disebut lima dasar sebagai suatu totalitas, merupakan suatu kebulatan tunggal, yang setiap sila-silanya selalu harus mengandung keempat sila yang lainnya. Setiap sila tidak boleh bertentangan dengan sila yang lain, karena di antara sila-sila itu memang tidak terdapat hal-hal yang bertentangan.[9]
                        Dengan demikian, Pancasila mempunyai sifat yang abstrak, umum, universal, tetap tidak berubah, menyatu dalam suatu inti hakikat mutlak: Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil, yang kedudukannya sebagai inti pedoman dasar yang tetap. Kejadian tersebut, melalui suatu proses yang panjang, dimatangkan oleh sejarah perjuangan bangsa, akan tetapi tetap berakar pada kepribadian kita (bangsa Indonesia), berarti pancasila merupakan pandangan hidup seluruh bangsa Indonesia, yang telah disetujui oleh para wakil rakyat menjelang dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Jadi, Pancasila adalah satu-satunya pandangan hidup (filsafat) yang dapat mempersatukan rakyat dan bangsa Indonesia.
4.      Pancasila sebagai Falsafah
                        Dalam konteks keindonesiaan, Pancasila yang menjadi falsafah dan ideologi bangsa dan masyarakat Indonesia memiliki nilai-nilai moral, etika, buadaya yang sangat mulia dimana dalam setiap silanya menjalin keterkaitan makna yang tidak bisa dilepaskan demi memberikan penafsiran semau gue. Adapun makna/hakekat yang dikandung sila-sila dalam pancasila dapat kita lihat dalam uraian Sunoto (1989: 20-23) sebagai berikut:


8
a.       Hakikat sila pertama adalah Tuhan. Jika menggunakan sila pertama untuk mendekati manusia Indonesia yang utuh, berarti bahwa manusia tersebut harus mempunyai sifat-sifat dimiliki oleh Tuhan, dalam arti bahwa manusia pada hakekatnya tidak boleh mempunyai sifat yang bertentangan dengan sifat Tuhan. Ini harus menjadi ciri khusus masyarakat Indonesia seutuhnya, sebagai masyarakat yang mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa.
b.      Hakikat sila kedua adalah manusia. Manusia utuh dilihat dari sila kedua adalah yang sadar akan dirinya sebagai manusia, yaitu yang berkepribadian luhur. Berbeda dengan binatang dan tumbuhan-tumbuhan, manusia mempunyai kelebihannya yaitu jiwa. Oleh karena itu manusia utuh adalah yang berbuat sesuai dengan nilai-nilai kejiwaannya. Ia wajib berbuat sesuai dengan nilai-nilai tersebut agar dapat mencapai apa yang disebut manusia yang berperikemanusiaan.
c.       Hakikat sila ketiga adalah satu. Manusia utuh saharusnya adalah satu, baik dalam dirinya maupun hubungannya dengan orang lain. Satu dengan yang lain mengandung makna bahwa manusia tidak dapat lepas dari adanya manusia lain, alam sekitarnya dan juga dengan Tuhan. oleh karena itu manusia utuh sesuai dengan makna sila ketiga adalah manusia yang sadar bahwa dirinya merupakan satu kesatuan dengan seluruh isi alam dan penciptanya.
d.      Hakikat sila keempat adalah rakyat, dalam artian bahwa manusia utuh adalah manusia yang mampu menjadikan dirinya sungguh-sungguh sebagai bagian dari rakyat. Manusia yang utuh harus mampu berbuat dari, oleh dan untuk kepentingan bersama, yang pada hakekatnya manusia berbuat untuk dirinya sendiri. Manusia adalah bagian dari rakyat, karena itu tidak mungkin berbuat sesuatu lepas dari kesatuan mereka. Manusia utuh adalah yang mampu bergaul erat dengan rakyat dan mampu memberikan problem solving secara bersama-sama dalam bermasyarakat untuk mufakat. Manusia utuh adalah yang mampu bertenggang rasa, bersedia memberi dan mau menerima pendapat orang lain. Manusia utuh harus mencari titik temu dan tidak mencari-cari perbedaan sikap dan perbuaran serta pendapat. Ia sadar bahwa ia hidup dalam keragaman sifat, karakter dan budaya serta adat istiadat.

9
Dalam kondisi seperti ini, ia tidak mungkin mencari keuntungan sendiri dengan menganggap dirinya yangpaling baik dan paling benar. Manusia utuh mampu mampu mandiri dan berdaulat melaksnakan kedaulatannya dengan penuh tanggung jawab, mampu menyuarakan isi hatinya demi kepentingan bersama. Jelasnya manusia utuh dalam makna sila keempat ini adalah manusia yang menghormati hak-hak dan kewajiban dirinya sendiri serta menghormati hak-hak orang lain. Ciri yang paling umum dan menjadi budaya dikalangan masyarakat Indonesia adalah kebersamaan, kegotong royongan. Budaya ini masih kita temukan mengakar dengan kuat terutama pada masyarakat pedesaan. Meskipun solidaritas seperti ini dalam sorotan Soedjito disebut solidaritas “sapu lidi” atau solidaritas ketergantungan terhadap pemimpin.
e.       Hakikat sila kelima adalah keadilan. Adil berarti memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya, dan bemakna pula memberikan kepada diri sendiri apa yang menjadi hak diri. Karena sisi hak adalah wajib, maka adil berarti berlaku serasi dalam hubungan antara hak dan wajib. Oleh sebab itu, manusia utuh seharusnya dapat berlaku adil artinya dapat melaksanakan hak dan wajib terhadap dirinya sendiri, terhadap orang lain, terhadap lingkungan hidup dan terhadap Tuhan. kesemuanya ini harus bejalan seimbang.[10]
Manusia utuh secara keseluruhan dalam pandangan pancasila wajib berbuat demi kesatuan sistem yang ada dalam negara Indonesia. Ia sadar bahwa ia adalah bagian bangsa Indonesia, begitu pula sadar bila ia dari alam semesta. Ia merupakan makhluk Tuhan yang tidak dapat dipisahkan dengan-Nya. Manusia utuh adalah manusia yang berbuat demi kesejahteraan dan ketentraman serta demi kesatuan manusia, alam dan Tuhan.
Filsafat Bhineka Tunggal Ika mengandung pengakuan akan eksistensi setiap lingkungan budaya nusantara yang majemuk adanya. Warisan berbagai sistem-sistem budaya nusantara yang ada dewasa ini menunjukkan survivabilitasnya yang membuktikan adanya nilai-nilai yang hidup dan hadir melalui budaya.

BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
1.      Filsafat Indonesia adalah suatu pemikiran yang diperuntukkan kepada bangsa Indonesia sebagai landasan atau pandangan hidup bangsa Indonesia.
Hakikat pribadi dalam kedudukannya sebagai manusia Indonesia adalah sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan.
2.      Pandangan hidup yang sesuai dengan bangsa Indonesia adalah suatu pandangan hidup yang berasal dari akar hikmat yang terkandung dalam khasanah budaya Indonesia, yang dapat dijumpai dalam berbagai adat istiadat, peribahasa, pepatah yang kesemuanya itu merupakan ungkapan-ungkapan perilaku kehidupan manusia Indonesia.
3.      Bentuk filsafat Indonesia yang terdiri dari lima sila disebut lima dasar sebagai suatu totalitas, merupakan suatu kebulatan tunggal yang setiap sila-silanya harus mengandung keempat sila yang lainnya.
4.      Pancasila sebagai filsafat memiliki nilai-nilai moral, etika, budaya yang sangat mulia dimana setiap silanya menjalin keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan.
B.     Saran
Saran yang dapat kami berikan adalah agar mahasiswa dalam pelaksanaan diskusi lebih tenang dan lebih memperhatikan pemateri agar memahami dengan baik materri yang dibawakan oleh kelompok lain.








10
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro. 2003. Filsafat Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Achmadi, Asmoro. 2008. Filsafat Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Mustafa, Mustari. 2011. Konstruksi Filsafat Nilai Antara Normatifitas dan Realitas.                                    Makassar: Alauddin Press.
























11
MATA KULIAH            : FILSAFAT PENDIDIKAN
DOSEN               : Drs. HASANUDDIN, M. Pd. I

FILSAFAT PENDIDIKAN PANCASILA



OLEH:
KELOMPOK 8

ISTIQFAR                                                20700111045
MUH. AFIF WARDIMAN                     20700111058
MUH. ISHAK ANTON                           20700111061

PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2012
KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
                        Alhamdulillah, alhamdulillahirabbil alaamin, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Karena atas berkat, rahmat dan hidayahnyalah yang telah dilimpahkan kepada kami, sehingga kami dapat menyelasikan dan menyusun  makalah ini dengan baik dan tepat pada waktu.
                        Makalah yang kami buat ini, membahas tentang “FILSAFAT PENDIDIKAN PANCASILA”, makalah ini kami buat sebagai salah satu tugas dari mata kuliah Filsafat Pendidikan.
                        Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing, yang telah banyak memberikan kami petunjuk atau arahan dalam membuat makalah ini, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.









Samata-Gowa             


 Penulis           


ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI........................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
a.       Latar Belakang....................................................................................... 1
b.      Rumusan Masalah................................................................................... 2
c.       Tujuan dan manfaat................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
1.      Pengertian Filasafat Indonesia................................................................. 3
2.      Materi Filsafat (Pandangan Hidup) Indonesia......................................... 4
3.      Bentuk Filsafat Indonesia........................................................................ 7
4.      Pancasila sebagai Falsafah....................................................................... 7
BAB III PENUTUP
a.                   Kesimpulan........................................................................................10
b.                   Saran..................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 11











iii


            [1] Asmoro Achmadi. Filsafat Umum. (Cet 5; Jakarta: Raja Grafindo. 2003), h 102-103
[2] Asmoro Achmadi. Filsafat Umum. (Cet 8; Jakarta: Raja Grafindo. 2008), h 108


3
            [3] Asmoro Achmadi. Filsafat Umum. (Cet 8; Jakarta: Raja Grafindo. 2008), h 109
            [4] Asmoro Achmadi. Filsafat Umum. (Cet 5; Jakarta: Raja Grafindo. 2003), h 104

            [5] Asmoro Achmadi. Filsafat Umum. (Cet 5; Jakarta: Raja Grafindo. 2003), h 104
            [6] Asmoro Achmadi. Filsafat Umum. (Cet 8; Jakarta: Raja Grafindo. 2008), h 110


            [7] Asmoro Achmadi. Filsafat Umum. (Cet 8; Jakarta: Raja Grafindo. 2008), h 110-111
            [8] Asmoro Achmadi. Filsafat Umum. (Cet 5; Jakarta: Raja Grafindo. 2003), h 106
            [9] Asmoro Achmadi. Filsafat Umum. (Cet 5; Jakarta: Raja Grafindo. 2003), h 106
            [10] Mustari Mustafa. Konstruksi  Filsafat Nilai Antara Normalitas dan Realitas. (Cet 1;                        Makassar: UIN Alauddin Makassar. 2011) h 145-147

No comments:

Post a Comment